50 Tahun Everest ”Takluk” Sebuah Kemerdekaan Ikhtiar
MENAKLUKKAN puncak Everest melalui kegiatan pendakian kerap dipandang sebagai suatu bagian kemenangan dari “pegunungan ambisi manusia” semenjak 50 tahun lalu. Setidaknya, begitulah catatan yang cenderung emosional meski rasional di mata pendaki elite Barat. Cipratan nilai keberhasilan pendakian oleh Sir Edmund Hillary serta Tenzing Norgay separuh abad yang lalu itu masih tetap bertahan hingga kini dari balik bingkai kacamata umumnya pendaki.
Setidaknya, citra demikian pun tetap terpancar dari kesimpulan Erik Weihenmayer, penulis buku legendaris Touch the Top of The World serta pendaki buta yang sudah mengoleksi keberhasilan menggapai puncak-puncak tertinggi di tujuh kontinen bumi ini. Sering dijuluki oleh pendaki sebagai suatu status yang jauh lebih terhormat dan bermoral ketimbang menggapai puncak “tampuk kekuasaan semu” lainnya.
Di tahun 2000 lalu, Babu Chiri Sherpa — Sherpa yang paling termasyhur di Nepal hingga kini — mendaki dari base camp hingga ke puncak Everest dengan hanya menghabiskan waktu di bawah 16 jam. Namun, sebagian penghuni dunia — khususnya para pendaki gunung — selalu tertantang untuk mempelajari, bagaimana hingga akhirnya puncak tertinggi di atap langit bagi bumi ini bisa ditaklukkan, di saat Edmund Hillary dan Sherpa Tenzing Norgay bulan Mei tahun 1953 lalu mesti membekali diri dengan botol-botol oksigen yang beratnya mencapai lebih dari tiga kali berat botol oksigen di era canggih kini.
Kedua pionir penakluk Everest itu merampungkan rencananya tanpa dilengkapi piranti radio komunikasi sekalipun, yang kini bisa begitu ringan dijinjing para pendaki era modern. Sejarah puncak Everest adalah sejarah dunia modern dengan segala tantangan-tantangannya dan pengkianatan — beserta kesempatan-kesempatan yang tak tertandingi (terbandingkan) bagi ikhtiar manusia.
Khususnya bagi pendaki semacam Erik Weihenmayer, puncak Everest telah meletakkan realitas secara tepat bahwa suatu perjalanan petualangan yang dimulai oleh pendaki-pendaki elite juga mampu ditempuh oleh seorang pendaki yang buta (tanpa indra penglihatan) di tahun 2001. Di saat 50 tahun kemudian, seusai puncak itu dijejaki tapak-tapak sepatu boot Edmund Hillary dan Tenzing Norgay.
Pesan Weihenmayer bahwa kita tidak dapat melangkah surut ke belakang dan menutup puncak gunung itu bagi isyarat mundur dari pembinasaan terhadap hadiah terbesar di abad modern dari khazanah kehidupan kemanusiaan; yakni kemerdekaan bagi seseorang individu untuk memilih jalan serta sikapnya secara mandiri.
Sejumlah pendaki memperdebatkan bahwa ekspedisi ke Everest tidak lagi menjadi suatu bagian dari pencapaian prestasi yang dianggap penting atau monumental dan bahwa barisan kontingen-kontingen pendaki yang berjejer menantikan agenda bagi musim pendakian menuju puncak sudah saatnya turun derajat kemurniannya seiring merosotnya kadar lingkungan dunia.
Di masa-masa Hillary, tiap tim dari para pendaki unggulan dipilih secara seksama oleh lembaga-lembaga prestisius seperti misalnya the Royal Geographical Society, masyarakat geografi Kerajaan Inggris. Kini, suatu “derap-global yang kelebihan beban” sehingga memungkinkan, dengan lebih banyak dukungan uang dibanding pengalaman pendakian pun ikut membuat seseorang pendaki yang belum dikenal juga memiliki akses setaraf! Siapa yang “kaya” dan punya “cukup spaonsor” serta koneksi diplomasi bisa “dikatrol” menerabas rintangan tumpukan deretan kontingen pendaki yang sudah lebih awal mendaftar.
Everest sudah memasuki era “imbal-beli kesempatan” di paruh keprihatinan akan merosotnya situasi lingkungan hidup kita. Meski begitu, pengaruh pencapaian puncak Everest terhadap nuansa pembebasan akan kemerdekaan tiap individu berikhtiar agaknya tetap lestari tercanangkan.
Lima puluh tahun berikutnya setelah penaklukan Hillary-Norgay, para pendaki top dari seluruh dunia tumpah-ruah berkumpul di lereng Everest untuk mengupayakan langkah terobosan dasar mereka masing-masing. Di tahun 1978, pendakian Reinhold Messner tanpa perlengkapan botol-botol oksigen telah membantah kebijakan konvensional bahwa saat yang dihabiskan tanpa bantuan oksigen di ketinggian di atas 7.900 meter — dalam “zona maut” — akan mengakibatkan kerusakan syaraf otak dan tak dapat dipulihkan.
Mayoritas eksper pendaki dunia berpikir, seseorang yang buta taklah punya kaitan urusan dengan puncak tertinggi dunia, khususnya setelah delapan pendaki tewas dalam serangan badai yang kini dikenal sebagai “musibah 1996? di zona Everest. Namun, pendaki buta Weihenmayer sudah memepersiapkan pelatihan selama 16 tahun, sebelum ia menaklukan puncak dunia tahun 2001 lalu. Ia telah memanfaatkan kelebihan indra kepekaan perasaan dan pendengarannya akan kawasan pegunungan itu dengan memanfaatkan kapak-kapak es dan tongkat-tongkat panjang.
Meski sudah menjalankan 16 tahun pelatihan, Weihenmayer di lapangan masih tetap menghadapi tantangan yang belum dihadapi, seperti runtuhnya bukit es Khumbu (Khumbu icefall), menghindari terjangan pecahnya bukit es setinggi 609 meter yang terdiri dari pecahan bola-bola es sebesar bola basket, sampai tumpahan bukit sebesar bangunan bertingkat.
Pecahnya medan-medan es yang berkontraksi serta meledak mewarnai perjalan 13 jam yang paling tak menyenangkan dan mengganggu bagi seseorang yang buta. Namun, akhirnya dengan pertolongan timnya, Weihenmayer berhasil menembus jatuhnya bukit es lebih dari 10 kali sehingga durasi dari tiap perjalanannya berkurang hingga lima jam.
Akhirnya, dokrin Everest yang bermuara kepada “The Hillary Step” diakui sebagai elemen pedoman hakiki tiap pendaki yang mendeskripsikan makna dari kesuksekan penaklukan “puncak dunia”, yakni torehkan tinta-tinta melalui jejak-jejak yang menguak tabir ambisi tiap individu menuju kepada ikhtiar akan kemanusiaan.
Sementara itu, kacamata belahan “dunia berseberangan” mengungkap, penggalangan nafsu di balik “ambisi mulia” Sir Hillary cuma berujung kepada kemubaziran belaka. Alasannya, kita yakin, prestasi dan ambisi sebagaimana halnya riwayat tiap pribadi, bukanlah sesuatu yang abadi.
sumber : http://catros.wordpress.com/2007/05/02/50-tahun-everest-takluk/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
beri petuah bijakmu