Menemukan “Puncak Gunung” Termahal
Salah satu jenis kegiatan yang kerap saya sukai ketika masih aktif di pecinta alam, adalah perjalanan mendaki dan menuju puncak gunung, tempat yang amat jauh, melelahkan dan perlu perjuangan tidak mudah. Menarik, damai, seru dan menegangkan, itulah alasan kami ketika itu. Menarik dan damai karena menghadirkan pengalaman perjalanan yang disertai pemandangan daerah yang indah. Seru, sebab disertai perilaku rekan-rekan yang kelihatan aslinya pada saat di alam bebas. Menegangkan, terutama karena serangkaian tantangan berat senantiasa menghadang di depan mata.
Ketika itu, tidak pernah terbayangkan sedikitpun kalau perjalanan hidup ini amat serupa dengan perjalanan menuju puncak gunung. Menarik, tentu saja karena pemandangan-pemandangan yang hadir di depan mata demikian bervariasi. Demikian menarik dan asiknya, sampai-sampai ada banyak sekali orang yang tidak sadar kalau satu tahun sudah berlalu. Atau tiba-tiba baru sadar kalau umur sudah tua, terutama setelah melihat adik-adik tingkat sudah semakin banyak.
Seorang Guru pernah menuliskan bahwa di sebuah suasana yang mengasykkan, ada tidak sedikit manusia yang amat takut kematian. Apa lagi sebabnya kalau bukan karena daya tarik sang hidup yang demikian memikat. Di samping menarik, perjalanan sang hidup juga seru, sebab tidak jarang terjadi kita harus ‘berperang’ dengan banyak kekuatan. Ada perang melawan diri sendiri, ada perang melawan ketidakjujuran, ada perang melawan ketertindasan, dan masih banyak lagi perang lainnya. Dan terakhir tentu saja juga menantang, secara lebih khusus karena tidak seorangpun tahu bagaimana persisnya wajah masa depan. Tiba-tiba tanpa persiapan memadai ia hadir di depan mata.
Perbedaanya, kalau dalam perjalanan menuju puncak gunung, jelas dan tegas titik tertinggilah yang digunakan sebagai sasaran. Dalam perjalanan kehidupan, sasarannya di samping berbeda dari satu orang ke orang yang lain, juga bergerak dan berubah sejalan dengan kedalaman renungan masing-masing.
Ada memang sekumpulan manusia yang seluruh hidupnya hanya digunakan mencari harta dan tahta. Dan bahkan sampai di ujung kehidupanpun masih menangisi harta yang ditinggalkan. Di bagian lain, ada juga manusia yang sama sekali tidak peduli akan harta dan tahta. Satu-satunya yang ia pedulikan hanyalah perjalanan menuju Tuhan. Di antara dua kutub ekstrim ini, kadang ada sisa-sisa renungan yang tercecer. Sekaligus menghadirkan pertanyaan mendasar, apakah yang kita cari dalam perjalanan hidup yang demikian melelahkan ini ?
Bagaimana tidak melelahkan, sebagian orang menghabiskan hampir dua puluh tahun duduk di bangku sekolah formal. Bergelut dengan kehidupan kerja hampir enam belas tahun. Berkelana dalam kehidupan pernikahan yang banyak godaan telah delapan belas tahun. Tidak sedikit di antaranya diwarnai air mata kesedihan, perang hati nurani, bahkan kadang mengancam nyawa. Dalam rangkaian perjalanan seperti ini, sangat layak kalau bertanya ulang, apa yang kita cari ?
Entah sampai di tataran pemahaman mana perjalanan Anda sejauh ini, tetapi semakin saya selami dan dalami, semakin saya tahu kalau hidup adalah sebuah perjalanan ke dalam diri. Berbeda dengan puncak gunung yang harus kita capai, dan membawa kemungkinan terbukanya sebuah kemenangan, puncak gunung kehidupan ada pada proses belajar. Ya sekali lagi ada pada proses belajar. Bukan pada tujuan akhirnya. Ini penting untuk dipahami dan didalami, karena perjalanan menemukan diri sendiri adalah sejenis perjalanan yang tidak mengenal garis finish.
Karena tidak ada titik akhirnya inilah, maka sejumlah pilosopi timur menekankan pentingnya hidup di hari ini (living in the now). Tidak sekadar hidup berfoya-foya dan menghabiskan kenikmatan tentunya. Melainkan, hidup penuh kesadaran dan rasa syukur. Pada kesempatan lain, pernah dikutip tingkatan-tingkatan manusia ala seorang pengusaha. Dari manusia bodoh, pintar, licik sampai dengan manusia beruntung. Dan konon manusia beruntunglah yang tidak bisa dikalahkan oleh manusia licik.
Bercermin pada pentingnya hidup penuh kesadaran di hari ini, ada manusia yang lebih berbahagia dibandingkan manusia yang beruntung, yakni manusia yang tidak lagi terikat pada apapun. Ketika dipuja karena berada di atas, ia yakin harta dan tahtalah yang dipuja orang. Tatkala dihina karena jatuh ke lumpur kehidupan, ketiadaan harta dan tahta yang membuatnya jadi demikian. Dengan kata lain, diri ini yang sebenarnya tidaklah pernah disentuh pujian dan makian. Oleh karena itu, kenapa mesti gembira ketika dipuji dan menangis ketika dimaki? Demikianlah pilihan sikap manusia-manusia langka yang sudah bebas dari keterikatan.
Tidak ada satu kekuatanpun yang bisa mendikte orang jenis terakhir. Ketika sibuk dalam kerja/kegiatan ia menikmati kerjanya dengan suka cita. Tatkala purna tugas/menganggur menghadang, ia habiskan waktunya untuk belajar pilosopi dan agama. Tatkala mendapat kebahagiaan ia belajar bersyukur. Tatkala mendapat kesedihan ia belajar sabar dan tawakal.
Dalam hidup yang tidak lagi dibelenggu keterikatan, yang ada hanyalah kebebasan dan keikhlasan di depan Tuhan. Entah Anda setuju entah tidak, sampai dengan perjalanan hidup sekarang, inilah berkah dan puncak gunung termahal yang pernah diberikan kepada kita. Dengan kerendahan hati di depan Tuhan, saya hanya bisa berucap lirih : ‘terima kasih Tuhan !’.
sumber : http://catros.wordpress.com/2007/05/09/menemukan-%E2%80%9Cpuncak-gunung%E2%80%9D-termahal/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
beri petuah bijakmu