Menjelajah Papua dapat Freeport
Menjelajah Papua, Dapat Freeport TAHUN 1623, Kapten Jan Carstenz kaget. Selagi berlayar di Laut Arafuru ia mendapati temuan aneh: salju di puncak gunung di kawasan yang terletak di daerah katulistiwa yang beriklim tropis. Ketika itu pegunungan ini disebut penduduk setempat Pegunungan Maoke. Orang Belanda menyebutnya Pegunungan Nassau. Carstenz pulang ke Eropa dan menuturkan pengalamannya. Tapi, ia malah jadi bahan tertawaan. Kesaksian Carstenz baru terbukti setelah awal abad ke-20 orang-orang Eropa memulai perjalanan ekspedisi ke Papua. Setelah pedalaman Papua terjamah, terbukti benar gunung itu memang bersalju. Lantaran tingginya dan tentu lantaran dinginnya. Penjelajah Belanda dan Inggris saling berlomba memasuki pedalaman Papua. Antara tahun 1907 dan 1913 tiga orang Belanda berhasil mendaki puncak Gunung Wilhelmina (Wilhelminatop), yang sekarang disebut Puncak Trikora.
Tahun 1909 ekspedisi kedua berhasil mencapai lereng bersalju, dan pada tahun 1912 ekspedisi ketiga berhasil mencapai puncak tertinggi. Problem ekspedisi tentunya soal perbekalan. Anggota perjalanan ekspedisi yang dimotivasi kepentingan ilmiah, mendalami flora, fauna, dan antropologi suku-suku pedalaman Papua (dan tentu motif kolonialisasi ini) bisa mencapai 100 orang. Perlengkapan kemah dan kamera yang berat, diangkut oleh orang-orang Dayak (Kalimantan) waktu itu yang dicatat bermotivasi tinggi, dan sanggup menempuh perjalanan berat menembus hutan. Tentu juga karena kemungkinan menghadapi bahaya, harus ada tentara dan persenjataan dalam ekspedisi-ekspedisi itu. Tapi, digunakannya orang Dayak kemudian bermanfaat, karena mereka juga bisa menebang pohon besar untuk membuat perahu mendadak di lokasi pendakian. Orang-orang Dayak ini dicatat sangat terheran-heran menyaksikan salju. Mereka ingin membawa pulang salju untuk ditunjukkan kepada kepala suku mereka, tapi betapa kecewanya ketika diberitahu salju tak bisa dibawa pergi. Ekspedisi oleh Inggris dilakukan atas sponsor organisasi ornithologist (ilmuwan burung). Ekspedisi Wollaston tahun 1912-1913 menemui kegagalan setelah berkutat setahun lamanya di tengah rimba Papua, belakangan mereka menyadari telah tertipu oleh peta-peta Belanda yang mereka gunakan. Tapi Wollaston berhasil bertemu suku Tapiro dan Amungme yang bertubuh kecil. Laporan Wollaston menjadi sensasi besar di Eropa.
Sebagian orang Amungme ikut tim Inggris pulang, karena merasa bahwa ini adalah perjalanan mereka menuju surga. Tapi, mereka meninggal di jalan karena beratnya perjalanan. Tulang-tulang mereka dibawa Wollaston ke Inggris dan menjadi berita besar dalam sejarah antropologi Eropa masa itu. Sampai hari ini kisah kedatangan orang-orang Inggris itu masih hidup di kalangan Amungme. Tahun 1930-an, terdorong sejarah Wollaston dan Lorentz (Belanda), seorang Belanda lain JJ Dozy berusaha menjalani ekspedisi. Saat itu sudah ada pesawat terbang. Dozy membuat potret udara jalur ekspedisi, lalu melemparkan kemah dan perbekalan di sepanjang jalur perjalanan. Didukung teknologi ia berhasil mencapai lereng Carstenz tapi gagal mendaki puncaknya karena cuaca buruk. Dozy menemukan gunung batu kaya bijih besi di lokasi tinggal Suku Amungme. Informasi Dozy inilah yang mendorong berdirinya Perusahaan Pertambangan Freeport hingga sekarang. Pertambangan yang menimbulkan devisa bagi Indonesia tapi juga mengancam kelangsungan hidup Suku Amungme. Foto-foto perjalanan ekspedisi dari awal abad ke-20 itu disusun dalam sebuah pameran berjudul Race to the Snow yang dipamerkan di Gedung Erasmus Huis (Pusat Kebudayaan Belanda), Kuningan, 17 April-18 Mei 2002. Katalog yang disusun bagus dan akurat berikut catatan rekaman perjalanan menjadikan pameran ini nyaman dan informatif.
sumber : http://catros.wordpress.com/2007/05/02/menjelajah-papua-mendapat-freeport/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
beri petuah bijakmu